Letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu melontarkan 140
juta meter kubik material vulkanik, menimbulkan sedemikian besar
kekacauan. Banjir lahar akibat timbunan materialnya saat letusan masih
mengancam hingga kini, bahkan diprediksi
terus menjadi ancaman hingga 10 tahun mendatang.Letusan Merapi ini
merupakan yang terbesar selama 100 tahun terakhir. Akan tetapi,
letusan itu terlampau kecil dibandingkan
dengan letusan Tambora pada April 1815.
Jika kita
mengalikan volume material yang dikeluarkan
letusan Merapi dengan angka 1.000, tetap saja itu belum cukup untuk
menandingi letusan Tambora. Total volume yang dikeluarkan Gunung Tambora saat
meletus hebat hampir 200 tahun silam mencapai 150 kilometer kubik atau
150 miliar meter kubik. Deposit jatuhan abu yang terekam hingga
sejauh 1.300 kilometer dari sumbernya.
Peneliti dari
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Igan Supriatman
Sutawidjaja, dalam tulisannya, ”Characterization of Volcanic Deposits
and Geoarchaeological Studies from the 1815 Eruption of Tambora
Volcano”, menyebutkan, distribusi
awan panas diperkirakan mencapai
area 820 kilometer persegi. Jumlah total gabungan awan panas
(piroklastik) dan batuan totalnya 874 kilometer persegi. Ketebalan
awan panas rata-rata 7 meter, tetapi ada yang mencapai 20 meter.
Ahli botani Belanda, Junghuhn, dalam ”The Eruption of G
Tambora in 1815”, menulis, empat tahun setelah letusan, sejauh mata
memandang adalah batu apung. Pelayaran terhambat oleh batuan apung
berukuran besar yang memenuhi lautan. Segala yang hidup telah punah.
Bumi begitu mengerikan dan kosong. Junghuhn membuat deskripsi itu
berdasarkan laporan disterdijk
yang datang ke Tambora pada 16 agustus 1819 bersama The Dutch Residence
of Bima.
Letusan Tambora memang dahsyat, bahkan
terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah manusia modern. Magnitudo
letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada
pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba (Sumatera
Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8.
Tambora juga tercatat sebagai gunung yang
paling mematikan. Jumlah korban tewas akibat gunung ini sedikitnya
mencapai 71.000 jiwa—sebagian ahli menyebut angka 91.000 jiwa. Sebanyak
10.000 orang tewas secara langsung akibat letusan dan sisanya karena
bencana kelaparan dan penyakit yang mendera. Jumlah ini belum termasuk
kematian yang terjadi di
negara-negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yang didera bencana kelaparan akibat abu
vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di dua benua itu.
Berikut ringkasan laporan kesaksian saat
letusan Gunung Tambora terjadi, yang
disarikan dari ”Transactions of the Batavian Society” Vol VIII,
1816, dan ”The Asiatic Journal” Vol II, Desember 1816.
Sumanap
(Sumenep), 10 April 1815
Sore
hari tanggal 10, ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan
bahkan mengguncang kota, laksana tembakan meriam. Menjelang sore
keesokan harinya, atmosfer begitu tebal sehingga harus menggunakan
lilin pada pukul 16.00.
Pada
pukul 19.00 tanggal 11, arus air surut, disusul air deras dari teluk,
menyebabkan air sungai naik hingga 4 kaki dan kemudian surut kembali
dalam waktu empat menit.
Baniowangie (Banyuwangi), 10 April
1815
Pada tanggal 10 April
malam, ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan
kejamnya. Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang
secara perlahan hingga akhirnya benar-benar berhenti pada tanggal 14.
Fort Marlboro (Bengkulu), 11 April 1815
Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari
tanggal 11 April 1815. Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan
senjata api yang terus-menerus sejak fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi
tidak menemukan apa pun.
Suara
yang sama juga terdengar di
wilayah-wilayah Saloomah, Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain.
Seorang asing yang tinggal di
Teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11 April 1815 terdengar
tembakan meriam sepanjang hari.
Besookie (Besuki, Jawa Timur), 11
April 1815
Kami terbungkus
kegelapan pada 11 April sejak pukul 16.00 sampai pukul 14.00 pada 12
April. Tanah tertutup debu setebal 2 inci. Kejadian yang sama juga
terjadi di Probolinggo dan
Panarukan, terus sampai di
Bangeewangee (Banyuwangi) tertutup debu setebal 10-12 inci. Lautan
bahkan lebih parah akibat dari letusan tersebut. Suara letusan
terdengar sampai sejauh 600-700 mil.
Grissie
(Gresik, Jawa Timur), 12 April 1815
Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi. Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa
sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati
siang hari. Jam 11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan
abu tebal. Pukul 05.00 sudah semakin terang, tetapi masih tidak bisa
membaca atau menulis tanpa cahaya lilin.
Tidak ada seorang
yang ingat ataupun tercatat dalam tradisi erupsi yang sedemikian
besar. Ada yang melihat kejadian itu sebagai transisi kembalinya
pemerintahan yang lama. Lainnya melihat kejadian itu dari sisi
takhayul dan legenda bahwa sedang ada perayaan pernikahan Nyai Loroh
Kidul (Ratu Kidul) yang tengah mengawini salah satu anaknya, dia tengah menembakkan artileri
supernaturalnya sebagai penghormatan. Warga menyebut abu yang jatuh
berasal dari amunisi Nyai Loroh Kidul.
Makassar, 12-15
April 1815
Tanggal 12-15
April udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih
terhalang. Dengan sedikit dan terkadang tidak ada angin sama sekali.
Pagi hari tanggal 15 April, kami berlayar dari Makassar dengan sedikit
angin. di atas laut terapung
batu-batu apung, dan air pun tertutup debu. di sepanjang pantai, pasir terlihat
bercampur dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang.
Perahu sangat sulit menembus Teluk Bima karena laut benar-benar
tertutup.
0 komentar:
Posting Komentar